Senin, 19 November 2012

Jangan Sampai Tidak Berinvestasi



KOMPAS.com - Investasi, khususnya di saham, membutuhkan pengetahuan dan analisa yang dalam. Tidak bisa ikut-ikutan. Sebaiknya tidak berinvestasi di saham jika Anda tidak cukup punya kompetensi dan atau tidak punya pemahaman mengenai saham secara baik. Tetapi, apakah Anda sama sekali tidak boleh menempatkan dana di saham? Tidak juga.

Mulai dari reksa dana
Bagi Anda yang memang memiliki ”selera” untuk berinvestasi saham, sebenarnya bisa memulai dengan reksa dana saham. Saat ini banyak manajer investasi yang mengeluarkan produk reksa dana berbasis saham. Namun tidak bisa sembarang pilih. Keberhasilan reksa dana saham tidak semata-mata bergantung pada pergerakan harga saham di pasar, namun juga bergantung pada isi keranjang reksa dana tersebut. Jenis saham apa yang ada di dalamnya.

Kalau Anda tergolong investor yang berorientasi jangka menengah panjang, ada baiknya memilih reksa dana yang basis produknya adalah saham berkapitalisasi besar dan tersebar pada berbagai sektor. Setelah Anda meyakini jenis reksa dana tersebut, maka langkah berikutnya adalah memilih produk reksa dana dengan melihat, berapa besar Asset Under Management, yakni jumlah dana yang dikelola oleh manajer investasi pada produk tersebut. Semakin besar dananya, menunjukkan semakin besar kepercayaan investor pada produk tersebut.

Selain itu, tentu mesti dilihat pengalaman dari manajer investasi yang menerbitkan produk dimaksud. Sudah berapa lama perusahaan beroperasi dan bagaimana rekam jejaknya. Anda mesti membuat kriteria memilih produk reksa dana sekaligus kriteria mengenai manajer investasinya.

Properti
Bagaimana dengan properti? Belakangan banyak kalangan tertarik untuk berinvestasi dalam bentuk properti. Apakah memang properti merupakan investasi yang menjanjikan? Logikanya sederhana. Sepanjang ekonomi bertumbuh, pendapatan masyarakat bertumbuh, maka permintaan terhadap rumah dan kantor pasti akan meningkat.
Namun, seberapa besar potensi peningkatan tersebut? Apakah layak properti dijadikan alat investasi jangka pendek, atau jangka menengah panjang?

Gunakan logika. Ekonomi yang bertumbuh, menimbulkan perbaikan pendapatan, orang-orang yang belum punya rumah akan membeli rumah. Orang yang sudah memiliki rumah mungkin akan membeli rumah baru. Atau membeli rumah untuk kemudian dijual lagi, dengan harapan harganya akan lebih tinggi.

Sebaiknya hati-hati, jika Anda tergolong kelompok yang terakhir, yakni membeli rumah sebagai alat investasi dengan harapan harganya akan meningkat. Kenapa demikian? Sangat bergantung pada banyak hal. Kenaikan harga rumah, bergantung pada lokasi. Lokasi bergantung pada permintaan dan persepsi tentang lokasi tersebut. Lazimnya jika permintaan tinggi dan penawaran terbatas tentu akan mendongkrak harga. Tetapi berapa persen potensi kenaikan harga tersebut? Di sinilah Anda mesti berhati hati. Pernah mendengar istilah ”goreng-menggoreng” saham? Atau ”goreng menggoreng harga lukisan?”

Belakangan, fenomena sejenis juga sudah mulai merasuki properti. Kenaikan harga tanah dan bangunan menjadi gila-gilaan bukan karena permintaan tinggi. Tetapi permintaan ”semu”. Coba cek lokasi-lokasi perumahan atau apartemen di daerah tertentu. Sering kali kita melihat, bangunan belum berdiri, rumah atau apartemen yang dijual sudah habis. Lalu muncul persepsi bahwa permintaan sangat tinggi. Lokasinya prospektif dan lain sebagainya.

Tetapi, tahukah Anda siapa yang membeli pada pasar perdana tersebut? Sangat mungkin, ada di antaranya adalah spekulan. Baik spekulan secara individual maupun ”berkelompok”. Lalu ketika nanti datang calon investor –baik spekulan berikutnya ataupun murni investor– hendak ikut membeli, maka mereka membelinya di pasar sekunder, dengan harga yang sudah meningkat. Begitu seterusnya.

Setelah rumah atau apartemen dibangun, sebagian besar tidak berpenghuni, karena yang membeli adalah investor ataupun spekulan yang berharap ada pihak lain yang akan membeli dari mereka. Dan harga sudah melambung tinggi. Dan muaranya, yang terjadi adalah rumah tersebut tidak laku.

Simpulannya, hati-hati dan sebaiknya jangan berinvestasi pada properti jika tidak memahami karakteristik ”goreng menggoreng” tersebut, kecuali Anda sudah ahli dan memang tahu kapan dan di mana harus berinvestasi.
(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar